Laporan Wartawan Tribun Pekanbaru, Ariestia
Konsumsi bahan bakar untuk kebutuhan energi dunia makin meningkat. Di sisi lain bahan bakar fosil yang selama ini banya dipakai jumlahnya terus berkurang dan tidak dapat diperbaharui. Menghadapi hal ini, upaya mencari energi alternatif yang baru dan terbarukan serta berkelanjutan sangat mendesak untuk dilakukan.
LEDAKAN populasi alga dalam kolam sering menimbulkan masalah. Air berubah menjadi hijau dan merusak pemandangan. Bahkan menimbulkan rasa jijik bagi sebagian orang karena air seperti berlumut dan berlendir.
Meskipun sering dianggap menyusahkan, ternyata alga mempunyai manfaat luar biasa. Selain kaya nutrisi yang bisa diolah menjadi suplemen untuk tubuh manusia, organisme ini juga berpotensi menjadi sumber energi alternatif pengganti minyak bumi di masa depan. Bahan bakar nabati ini dikenal sebagai Biofuel Generasi Ketiga atau Blue Energy.
Mengingat potensinya, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Riau sejak beberapa bulan lalu melakukan penelitian untuk alga yang berukuran kecil atau mikroalga jenis Chlorella. Penelitian dilakukan di Pusat Riset, Pengembangan dan Teknologi (Puribangtek) Siak Hulu, Kampar bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Di Puribangtek, mikroalga dikembangkan dalam fotobioreaktor. Dalam alat itu mikroalga diisolasi supaya steril, dikembangbiakkan (dikultivasi) selama tujuh sampai sepuluh hari. Hasilnya akan digunakan untuk berbagai penelitian lanjutan, termasuk biofuel.
Setelah dipanen, proses selanjutnya disaring, dikeringkan, diekstraksi (pemisahan) menggunakan pelarut heksana atau dietil eter dan dilakukan pemurnian. Proses ekstraksi menyebabkan minyak mikroalga yang mengandung asam lemak dan pati keluar.
Setelah dipisahkan dan difermentasi akan menghasilkan bioetanol atau biodiesel. Ada beberapa komponen yang bisa dihasilkan dari mikro alga. Di antaranya asam lemak untuk bahan baku biodiesel, starch (pati) sebagai sumber bahan baku bioetanol, dan protein serta vitamin yang dapat diolah untuk suplemen.
Para ahli menilai pemanfaatan mikroalga sebagai penghasil bahan bakar nabati sangat efektif dari segi waktu dan tempat. Pertumbuhannya sangat cepat dan dapat berkali-kali panen. Selain itu tidak membutuhkan lahan yang sangat luas. Berbeda dibandingkan tanaman sumber biofuel lainnya seperti kelapa sawit, kacang-kacangan, jarak pagar atau jatropha yang membutuhkan lahan lebih luas dan waktu tumbuh lebih lama.
Berdasarkan proyeksi oleh ahli alga di oilgae.com, dalam kondisi baik alga diperkirakan mampu menghasilkan minyak berkali lipat. Diperkirakan hingga 200 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan penghasil minyak seperti kelapa sawit, jarak pagar dan lain-lain pada kondisi terbaiknya.
Kedelai biasanya menghasilkan kurang dari 50 galon minyak per acre dan tumbuhan rapa menghasilkan kurang dari 130 galon per acre. Sedangkan alga bisa menghasilkan hingga 10 ribu galon per acre.
Saat ini negara yang gencar membudidayakan mikroalga sebagai bahan bakar nabati di antaranya adalah Amerika Serikat, Spanyol, dan Belanda. Spesies yang digunakan Botryoccocus Braunii dari jenis mikroalga hijau. Namun, karena sinar mataharinya terbatas, produktivitasnya rendah.
Di Indonesia, pengembangan alga sebagai sumber energi alternatif pun mendapat perhatian. Bahkan Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia, pada 2010 lalu berkomitmen mengembangkan alga sebagai satu di antara lima sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Riau Prof DR Ir Tengku Dahril MSc, alga cocok dikembangkan di daerah tropis kaya sinar matahari seperti Indonesia. Sama seperti tanaman, alga juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air.
Riau mendapatkan sinar matahari berlimpah sepanjang tahun. Selain itu, Riau punya industri tanaman kelapa sawit dan nipah yang limbahnya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan alga. Budidaya dan pengolahan alga, tambahnya, sekaligus memberikan kontribusi dalam pengurangan limbah serta mengurangi polusi. Mikroalga yang berfotosintesis dapat mengendalikan polusi udara khususnya gas rumah kaca karbondioksida (CO2).
Sumber Energi yang Berpotensi Gerakkan Perekonomian
Bila penelitian ini berhasil, Menurut Tengku Dahril, kedepannya Balitbang akan membuat langkah lebih lanjut sosialisasi ke masyarakat. "Kalau penelitiannya sudah membuahkan hasil, kita akan tawarkan ke pabrik industri sehingga limbah dapat dikelola dengan mikroalga," katanya.
Lebih lanjut lagi, nantinya juga berpotensi meningkatkan perekonomian, dengan menggerakkan masyarakat pada sektor pembudidayaan mikroalga. Alga dapat berkembang di kolam terbuka, danau dan laut. Meski penggunaan sistem terbuka ini dapat membuat alga mudah terkontaminasi spesies alga lain dan bakteri, perkembangan pengetahuan dan teknologi dapat mengatasi hal itu.
"Kedepannya kita bisa juga melakukan pelatihan-pelatihan budidaya mikroalga untuk petani, maupun segi kewirausahaannya bagi anak-anak muda," sebutnya. Ia menambahkan hal ini juga berlaku untuk berbagai penelitian sumber energi alternatif lainnya seperti tanaman sorgum, gelombang air laut, panas matahari dan sebagainya yang tengah dilakukan Balitbang.
Bila makin banyak yang terlibat dalam budidaya mikroalga, potensi pengolahannya menjadi biofuel pun lebih besar. Diharapkan hasilnya dapat membantu dalam memenuhi target yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) yaitu penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) yang berkelanjutan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menargetkan tahun 2025, bahan bakar alternatif yang digunakan mencapai 25 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding bahan bakar fosil yang hanya 23 persen. Lainnya, 32 persen dari batu bara, dan 20 persen dari gas.
Dari 25 persen bahan bakar alternatif itu, sebanyak 8,9 persen ditargetkan dari bahan bakar nabati yakni bioetanol dan biosolar. Sisanya dari energi matahari (solar cell), angin, air, panas bumi dan lainnya.
"Kementerian ESDM telah mentargetkan pada 2025 nanti penggunaan energi alternatif 25 persen. Tentunya kita yang di daerah sudah harus bersiap dari sekarang agar target itu tercapai. Yaitu mencari berbagai sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan dan dapat terus dieksplorasi secara berkelanjutan," kata Tengku Dahril.
Seiring pertambahan penduduk dan perkembangan zaman, kebutuhan energi dunia makin meningkat. Sementara itu sumber energi fosil terus berkurang dan suatu saat akan habis. Menghadapi hal itu, manusia harus mencari energi pengganti sebelum hal tersebut terjadi.
Menipisnya cadangan minyak bumi serta dampak yang ditimbulkan bagi perekonomian serta perubahan iklim dunia menimbulkan kekhawatiran. Karena itu negara-negara di dunia, baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun pihak swasta berkomitmen mewujudkan tiga tujuan yang harus dicapai di tahun 2030. Yaitu akses universal pelayanan energi modern, efisiensi energi dan peningkatan energi terbarukan (Sustainability Energy) dua kali lipat pada keberadaan energi global.
Kesadaran Dunia Terhadap Energi Terbarukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mencanangkan 2012 sebagai tahun internasional untuk Energi Berkesinambungan bagi Semua atau Sustainable Energy for All (SE4ALL). Seperti yang diumumkan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon dalam World Future Energy Summit (WFES) di Abu Dhabi awal tahun tersebut.
Selain Kementerian ESDM serta lembaga terkait lainnya, Pertamina juga mengukuhkan komitmennya. Pada 2010, Pertamina menuangkan komitmen dalam hal pengembangan serta pemanfaatan lima Energi Baru dan Terbarukan (EBT) bersama Kementrian ESDM dan Balitbang ESDM. Kelimanya adalah Geothermal, Coal Bed Methane (SBM), Shale Gas, Algae dan Angin.
Dalam pidato di The Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, Presiden Direktur dan CEO Pertamina Karen Agustiawan mengungkapkan pentingnya ketahanan energi bagi dunia, termasuk Indonesia.
Ia mengatakan, konsumsi energi primer Indonesia telah meningkat lebih dari 50 persen sejak tahun 2000 hingga 2010. Namun produksi minyak yang masih mendukung sebagian besar kebutuhan energi turun dari 1,6 juta barel menjadi 861.000 barel perhari pada 2012. Sedangkan cadangan minyak turun lebih dari 1,9 miliar barel sejak 1992. Ini merupakan penurunan paling tajam di Asia.
Indonesia bukan lagi termasuk negara yang kaya sumber energi fosil. Namun Indonesia memiliki potensi EBT. Sayangnya, belum semua potensi itu tereksplorasi lebih lanjut mengingat penguasaan teknologi yang masih jauh dibandingkan negara maju.
Meskipun demikian, pemerintah telah berinisiatif untuk menjajaki kerjasama di bidang pengelolaan energi terbarukan dengan anggota-anggota ekonomi APEC. Hal itu diungkapkan Mentri ESDM Jero Wacik dalam konferensi internasional Tri Hita Karana yang berupakan bagian dari seri KTT APEC 2013, awal Oktober 2013 di Bali.
Kekayaan EBT yang dimiliki Indonesia tak hanya berkaitan dengan jumlahnya saja tetapi juga keberagamannya. Banyak pilihan untuk mengembangkan energi alternatif selain fosil. Misalnya, panas bumi, angin, air laut dan lain-lain. Pengelolaan sumber-sumber energi di atas akan memberikan kontribusi terhadap ketahanan energi nasional disamping penghematan yang perlu dilakukan terhadap energi fosil yang saat ini masih menjadi sumber energi primer. (art/dari berbagai sumber)
Anda sedang membaca artikel tentang
Mikroalga Solusi Sumber Energi Masa Depan
Dengan url
http://pakanbarupos.blogspot.com/2013/11/mikroalga-solusi-sumber-energi-masa.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Mikroalga Solusi Sumber Energi Masa Depan
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Mikroalga Solusi Sumber Energi Masa Depan
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar