Laporan wartawan Tribunpekanbaru.com: Nolpitos Hendri
TRIBUNPEKANBARU.COM PEKANBARU - Sejarah mencatat, sejak tahun 1997 kabut asap Riau sudah menarik perhatian dunia. Pada saat itu, perekonomian Eropa diguncang oleh krisis moneter, berimbas kepada perekonomian hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pada tahun itu pula, kemarau melanda pulau Sumatera hampir satu tahun lamanya. Kemarau ini membuat kabut asap tidak saja menimpa seluruh daerah di Riau, namun juga berimbas ke seluruh daerah di Sumatera, bahkan sampai ke negara tetangga.
Masih teringat jelas saat itu, umat Islam di mana-mana melakukan sholat Istisqo (sholat minta hujan). Hukumnya sunnah dilakukan, karena saat itu sedang tidak pernah hujan. Sholat ini tidak saja melibatkan masyarakat umum, namun juga pelajar dan pegawai.
Bencana saat itu tidak saja kabut asap, namun juga kekeringan yang terjadi di mana-mana. Penyebab kabut asap pada saat itu jelas kebakaran hutan, hampir di seluruh daerah di Sumatera, tentunya penyumbang asap termasuk Riau.
Pemerintah saat itu, selain sibuk mengurusi perekonomian yang tidak menentu, juga mengurus pemadaman api. Khusus di Riau, terjadi kebakaran hutan yang dasyat, dan saat ini hutan yang terbakar itu sudah berubah menjadi lahan sawit yang jumlahnya jutaan hektar.
Sejak tahun 1997 itu, kebakaran hutan di Riau terus terjadi setiap tahun, dan setiap tahun pula masyarakat Riau dilanda kabut asap, serta setiap tahun pula berbagai elemen masyarakat dan pemerintah bagi-bagi masker.
Lantas, entah siapa yang tidak pintar, siapa yang tidak peduli, siapa yang enggan, siapa yang tidak berfikir, siapa yang mementingkan diri sendiri dan kelompok, siapa yang hanya memikirkan keuntungan, dan siapa yang bertanggungjawab serta siapa yang harus disalahkan?
Bukan menggurui, tapi pemerintah sudah seharusnya belajar dari pengalaman. Keledai saja tidak mau jatuh pada lubang yang sama. Lantas, pemerintah di Riau apakah mau jatuh pada lubang yang sama? Jawabannya jelas "mau", karena memang sudah bertahun-tahun pemerintah Riau sudah jatuh pada lubang yang sama yakni bencana kabut asap. Harusnya, pemerintah harus bisa mencarikan solusinya.
Pemerintah di sini, tidak saja pemerintah di tataran birokrasi sebagai pengambil kebijakan, namun juga penegak hukum. Kemana penegak hukum sebagai algojo pemerintah dalam menegakkan hukum dan undang-undang yang telah disahkan wakil rakyat? "Tidur"? Atau ditidurkan segudang kepentingan? "Entalah".
Kini, kabut asap kembali terjadi. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan bagi-bagi masker, bahkan ada calon legislatif yang mengambil kesempatan untuk sosialisasi. Apakah ini benar-benar bentuk kepedulian kepada masyarakat? Jawabannya "entalah". Pastinya, masyarakat Riau yang kaya, masih mampu untuk membeli satu bahkan sekodi masker untuk keluarga mereka.
Apakah ini dimanfaatkan supaya ada proyek pembelian masker? Jawabannya "entalah". Pastinya, pemerintah melalui Dinas Kesehatan setiap tahun selalu menganggarkan dana dalam APBD untuk kejadian tidak terduga, dan dana tidak terduga itu dibelanjakan untuk membeli masker. Memang masker dibagikan kepada masyarakat, namun apakah pembelian masker itu kejadian tidak terduga? Jawabannya "entalah".
Padahal, kabut asap sudah terjadi setiap tahun, tentunya sudah kuat dugaan kabut asap akan terjadi tahun ini, karena pemerintah yang lalu tidak mencarikan solusi untuk mengatasi kabut asap. Kiranya, sebagian besar masyarakat Riau sudah terbiasa dengan kabut asap, walau mereka mengalami flu dan batuk mereka tetap beraktifitas tanpa menggunakan masker atau penutup mulut dan hidung lainnya.
Apakah ini cemooh? Jawabannya "entalah". Pastinya, kalau pemerintah sensitif, jelas ini adalah cemooh kepada pemerintah yang tidak mampu mengatasi kabut asap yang terjadi setiap tahun sejak belasan tahun yang lalu.
Terkini, Riau sudah memiliki pemimpin baru. Apakah pemimpin yang terpilih setelah melalui dua tahap pemilihan ini akan bisa mengatasi kabut asap? Jawabannya "entalah". Pastinya, kalau pemimpin saat ini benar-benar mencari solusi, tentunya kabut asap ini tidak akan terjadi lagi di tahun yang akan datang. Solusinya, bisa saja dengan menegakkan hukum seadil-adilnya, menata kawasan perkebunan, dan menentukan izin perkebunan rakyat, dan sebagainya.
Kiranya, seluruh masyarakat yang merasa memiliki Riau dan tidak mementingkan diri sendiri, tidak akan melakukan pembakaran dalam membuka lahan perkebunan, karena pembakaran hanya satu cara dalam membuka lahan perkebunan, ada cara yang lebih santun dan natural yakni penumpukan. Pohon yang telah ditebang, dipotong sedemikian rupa, ditumpuk secara teratur memanjang, buat seperti ruang dan garis pada buku tulis. Pada ruang yang kosong, bisa ditanami apa saja. Baik sawit, karet, ataupun tanaman kebun lainnya. Kayu yang berasal dari tanah, dalam waktu tertentu akan lapuk dan membusuk, sekaligus akan menjadi pupuk bagi tanaman yang ada ditanam.
Tentunya, solusi yang penulis sampaikan ini tidak memaksa masyarakat Riau, namun hanya bicara dari hati nurani kepada hati anda. Bagi umat Islam, Allah SWT akan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, dan akan memberikan peringatan kepada mereka yang berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman bahwa sebesar zarah pun kebaikan yang kamu perbuat, Allah akan membalasnya, dan sebesar zarah pun kesalahan yang kami perbuat, Allah akan membalasnya. Terima kasih, semoga bermanfaat. Amiiin!!! (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Bagi-bagi Masker, Cemooh, Proyek atau Peduli
Dengan url
http://pakanbarupos.blogspot.com/2014/02/bagi-bagi-masker-cemooh-proyek-atau.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Bagi-bagi Masker, Cemooh, Proyek atau Peduli
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Bagi-bagi Masker, Cemooh, Proyek atau Peduli
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar