Laporan wartawan Tribunpekanbaru.com: Mayonal Putra
TRIBUNPEKANBARU.COM, DUMAI - Hingga saat ini pengesahaan APBD 2014 Kota Dumai masih menuai polemik. Pihak eksekutif menilai hal itu sebagai kesimpangsiuran pemahaman tentang acara Pengesahan APBD 2014, yang didalamnya terdapat polemik paraf dan tandatangan.
Dari rilis yang diterima Tribun, Selasa (25/2/14), Humas dan Infokom Setdako Dumai menjelaskan bahwa Walikota dengan kesadaran penuh membubuhkan paraf atau bukan tandatangan pada dokumen acara pengesahan APBD 2014 saat paripurna laporan kerja Banggar DPRD Dumai, dua pekan lalu.
Adapun yang menjadi pertimbangan Walikota Khairul Anwar, karena undangan yang dikirimkan oleh DPRD Kota Dumai, nomor:005/DPRD/2014/56 pada hari Selasa tanggal 11 Februari 2014 merupakan undangan untuk menghadiri acara Penyampaian Hasil Kerja Badan Anggaran DPRD pada Pembahasan RAPBD Kota Dumai Tahun 2014.
"Undangan tersebut juga tidak menegaskan pengesahan APBD, hanya sekedar Penyampaian Hasil Kerja yang belum tentu final," ujar Kabag Humas dan Infokom M.Wazir melalui rilis yang dikirim kepada Tribun.
Kemudian, setelah didapati bahwa Tim TAPD Kota Dumai juga belum membubuhkan tandatangan pada dokumen yang dimaksud. Sehingga Khairul Anwar memutuskan hanya membubuhkan paraf saja karena dengan menandatangani dokumen yang belum final justru akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
"Jadi wajar saja pada saat itu Walikota Dumai menyampaikan pidato tanpa teks karena tidak disiapkan oleh Bagian Humas dan Infokom maupun TAPD," ulasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, walikota berpidato hanya menurut alur berpikir sendiri. Bahkan Walikota masih sempat berterima kasih kepada Dewan dan TAPD yang telah bertungkus lumus, dan berharap jika ada perbedaan pemahaman bisa kita tanyakan kepada ahlinya.
"Undangan Ketua DPRD dan rekaman Paripurna masih tersimpan hingga sekarang," tambahnya.
Menurutnya, hal itu terjadi untuk kali pertama dalam paripurna. Apalagi walikota berpidato tanpa teks. Hal itu dinilai tidak lazim akibat jadwal paripurna yang disampaikan Dewan pada paripurna tanggal 12 Februari 2014 adalah penyampai hasil kerja Banggar.
"Mestinya ada tahapan berikutnya, berupa tanggapan Pemerintah atas kerja Banggar setelah ada kesepakatan barulah jadwal paripurna pengesahan APBD," katanya.
Saat rapat Banggar dan TAPD sebelum digelarnya Paripurna, didapat kesepakatan bahwa usulan pembangunan mesjid terapung dan DPAL ditunda pembahasannya. Atau belum final dan belum ada kesepakatan.
Namun pada tanggal 12 Februari 2014 DPRD mengirim surat bernomor 170/DPRD/2014/58, perihal kesimpulan rapat Banggar bersama TAPD dalam penetapan RAPBD sebanyak tiga item.
Ketiga item terkait dengan usulan Pemko terhadap pelaksanaan DPAL dan Usulan Pemko terhadap rencana pembangunan mesjid terapung. Sehubungan hal tersebut di atas, eksekutif diminta segera menyampaikan perubahan struktur APBD setelah tidak mencantumkam DPAL dan perencanaan mesjid terapung.
"Pada tiga item tersebut jelas-jelas DPRD tidak setuju atas pembangunan mesjid terapung dan DPAL pembangunan drainase yang jelas nyata-nyata untuk kemaslahatan umat. Anehnya, bagaimana mungkin surat yang kami terima tanggal 12 Februari 2014 kami jawab pada hari itu. Mereka telah melaksanakan paripurna pengesahan, tentu besoknya baru bisa di balas," katanya.
Menurutnya, mestinya tunggu dulu balasan pemerintah, kenapa pada tanggal 12 Februari 2014 DPRD menggiring Walikota untuk mengesahkan RAPBD yang belum ada kesepakatan.
Proses itu dianggap telah melanggar dan mengangkangi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, paragraf kedua tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasal 25 huruf b mengajukan rancangan Perda. Hurif c menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Hurif d menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
Kemudian mengangkangi Peraturan Menteri dalam negeri nomor 16 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 6 yang berbunyi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
"sekiranya DPRD berasumsi sudah ada kesepakatan, mana bukti kesepakatan tersebut dalam rapat,kapan dan mana notulen rapatnya," tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, beberapa waktu belakangan, DPRD menuding Walikota Dumai telah melecehkan Dewan dengan memasukkan perencanaan mesjid terapung dan DPAL di tengah jalan.
"Padahal, mereka yang salah mengartikan surat nomor 910/Keu/165 tersebut. Yang benar adalah kita mengirim RAPBD untuk di Verifikasi Gubernur sekalian dengan penelaahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku," terangnya.
Pada tanggal 24 Februari 2014 Gubernur telah mengembalikan dokumen Ranperda APBD Kota Dumai tahun 2014 supaya dapat disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD karena belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sehubungan dengan keinginan DPRD Kota Dumai untuk menggunakan hak angket, hak interpelasi dan hak menyampaikan pendapat, pemerintah menghormati Dewan dengan hak-hak yang melekat pada dewan.
"Namun, alangkah baiknya dewan belajar lagi Tata Negara, kapan hak itu digunakan, klausal apa yang telah dilanggar Walikota, apakah telah memenuhi ketentuan yang berlaku, apa yang telah dilanggar oleh Walikota? Apakah Walikota telah melakukan korupsi,telah melakukan perbuatan tercela,atau telah melanggar Undang-undang dan sumpah jabatan sebagai Walikota," katanya.
Masih menurut M.Wazir, negara Indonesia ini menganut sistem presidensil bukan Parlementer. Semuanya sudah diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Untuk lebih jelasnya UU nomor 32 Tahun 2004 pasal 29 huruf 1,2,3 dan 4.
"apakah unsur tersebut telah terpenuhi,jangan salah penggunaan hak angket, interpelasi dan menyampaikan pendapat bermuara kepada Inpreacmen/pemakzulan jadi pernyataan salah seorang anggota dewan tersebut terlalu berlebihan dan tendensius," lanjutnya.
Ia mengusulkan, setelah pengembalian dokumen Ranperda APBD Kota Dumai TA 2014 diterima, karena belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaiknya TAPD dan DPRD duduk bersama sebagai mitra sejajar dengan mengenyampingkan ego sektoral masing-masing. Kemudian, menyadari sepenuhnya kedua belah pihak bekerja untuk kepentingan masyarakat dan untuk kemaslahatan umat.
"Duduk bersama guna mencapai mufakat dan mencari solusi sehingga tercapai persetujuan bersama sesuai dengan amanat Undang-undang," katanya.(cr1/rls)