Laporan: David Tobing
TRIBUNPEKANBARU.COM, DUMAI - Boru Siagiaan, yang biasa dipanggil Opung di Kelurahan Teluk Binjai, Dumai Timur tidak bisa terima tanaman padinya dibabat alat berat. Setelah sempat menghentikan alat berat yang sedang beroperasi di sawahnya bersama 26 petani lainnya, ia pun meraung-raung. Tangisnya tak henti hingga mendatangi kantor lurah yang tak jauh dari lokasi pesawahan.
Opung merupakan petani paling tua di antara 26 petani lainnya, yang di dominasi kaum perempuan. Tanpa alas kaki ia berjalan terbungkuk-bungkuk dengan bantuan tongkat untuk mengadu ke kantor lurah. Aksi Opung diikuti lima orang ibu-ibu yang berjuang menyelamatkan tanaman padinya dari proyek penggalian kanal Pemerintah Kota Dumai.
"Sampai setengah mati kami mengurus padi. Sudah tumbuh subur dan mulai berisi. Tapi ini tiba-tiba pemerintah membangun kanal di tengah hamparan padi kami," katanya kepada Tribun sambil menangis, Kamis (26/9).
Kepada Lurah Teluk Binjai, enam orang ibu-ibu ini meminta suaka supaya padinya yang mulai berisi tidak dibabat akibat pembangunan proyek. Bahkan, mereka menawarkan supaya pembangunan bisa diundur sampai masa panen, atau diberikan ganti rugi yang setimpal. Pasalnya, kebanyakan masyarakat di Teluk Binjai menggantungkan hidup melalui tanaman padi. Setidak-tidaknya, empat bulan sekali masa panen, cukup menghidupkan keluarga petani di kelurahan itu.
En Pakpahan, salah satu petani memberikan keterangan kepada Lurah, bahwa satu hektar luas sawah bisa menghasilkan produksi padi sebanyak tiga ton. Hasil ini lebih kurang mencapai Rp30 juta.
"Selama ini, itulah kehidupan kami, kami harapkan bapak lurah minta tolong kepada pemerintah atau perusahaan apapun agar kerugian kami itu diganti. Dua bulan lagi kami panen, kalau bisa ditunggu kami lebih puas," katanya.
Saat En Pakpahan menyampaikan harapannya kepada lurah, tiba-tiba datang seorang laki-laki berbadan tambun. Dari pintu ruangan lurah, ia memanggil Opung untuk pulang.
"Kalau tak bisa mereka memperjuangkan, aku yang memperjuangkan Opung. Kita pulang lagi," pintanya.
Opungpun langsung keluar ruangan, hingga ia kembali meraung sambil bergolek-golek di lantai kantor lurah itu. Aksi Opung kembali mengundang perhatian, meski ia mencoba bangkit untuk meninggalkan kantor lurah.
"Tidak ada yang bisa membantu Opung nak, bantulah nak. Padi Opung itu mulai bunting, tak rela Opung digeledor. Kasihan Opung yang bersusah payah menanamnya," keluh Opung kepada Tribun.
Sementara itu, Lurah Teluk Binjai, Nasib S.Sos pun mengaku susah menyelesaikan persoalan itu. Satu sisi, proyek datang dari pemerintah Kota, dengan tujuan mengatasi bencana banjir yang kerap melanda Teluk Binjai. Sedangkan di sisi lain, masyarakatnya dirugikan karena belum memasuki masa panen.
"Saya tentu berdiri di tengah. Bagaiamana masyarakat senang sedangkan proyek berjalan dengan lancar. Itulah sekarang yang saya pikirkan," katanya.
Tidak bisa memutuskan sendiri, ia langsung menghubungi kontraktor pengerjaan proyek kanal itu. Percakapannya melalui sambungan seluler diperdengarkan langsung kepada petani yang mengadu kepadanya.
"Kami membantu sesanggup perusahaan, bukan sepenuhnya. Karena tidak ada perjanjian kepemilikan lahan dengan warga. Palingan kami hanya bisa membantu Rp1,5 juta per hektar," jawab kontraktor, Santo.
Mendengar jawaban itu, ibu-ibu petani itupun terlihat kecewa. Mereka langsung menunduk. Sementara Lurah tetap melakukan penawaran agar ada ganti rugi yang lebih tinggi.
"kami tidak mau ribut dengan masyarakat. Kalau anggaran Rp15 juta per hektar, kami jelas tak sanggup," kata Santo menjawab permintaan lurah.
Namun demikian, Lurah tetap akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak-pihak terkait. Supaya, keluhan para petani yang terkena imbas pembangunan kanal dapat terakomodir dengan baik. Mendengar janji lurah itu, ibu-ibu yang sudah puas menyampaikan keluhannya pun kembali ke sawah, lokasi pembangunan kanal tersebut.
Kepada Tribun, Lurah mencoba menjelaskan bahwa masyarakatnya menggarap lahan milik PT. Pelindo. Dalam perjanjiannya, sewaktu-waktu Pelindo bisa memanfaatkan lahan itu tanpa ada istilah ganti rugi bagi masyarakat.
"Walaupun demikian, Pelindo tetap mengganti uang benih. Inilah ibu-ibu bertanya, berapa uang itu," katanya.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Teluk Binjai, Johan harahap, agar persoalan itu tidak merugikan petani dan pihak kontraktor. Ia tidak mau mengambil risiko jika sewaktu-waktu lahan milik Pelindo ditarik.
"Kami semua dipinjamkan lahan untuk bertani. Tentu kami harus hati-hati mengambil sikap. Namun, banyak pihak ketiga yang provokatif. Ini kadang-kadang membuat kami, kalangan petani terpecah belah," katanya. (*)