TRIBUNPEKANBARU.COM -- Hanya empat helai baju kotor dan uang Rp 1000 rupiah, Maulana akhirnya sampai juga di Bandara Internasional Schippol, Amsterdam, Belanda.
Ia ditemani Wahyudi yang kebetulan bertemu, sedang berdiri sambil mengepul-epulkan asap rokoknya di ruang khusus bagi para penikmat rokok. Tatapannya kosong, sejenak ia kaget saat dihampiri dan langsung sumringah saat Tribun memperkenalkan diri sama-sama berasal dari Indonesia.
Mukanya terlihat agak berseri-seri. Obrolan santai kemudian terjadi sambil menceritakan kisah nelayan ini bisa sampai ke Uruguay tepatnya di perairan Montevedio, sebagai nelayan di perahu berbendera China.
Sebelumnya, Maulana mengaku seorang penjual ketroprak, di Bekasi Utara. Lelaki muda asli Cirebon ini, mengaku tergugah hatinya begitu ada ajakan menjadi nelayan, pencari ikan di Uruguay.
"Saya tertarik, karena mendapat gaji Rp 1.700 ribu per bulan. Saat berangkat, saya juga tak mengeluarkan uang. Gaji yang didapat dipotong untuk biaya buat paspor, oleh pihak agen," tutur Maulana mengawali ceritanya kepada Tribun.
Pertama kali sampai di Uruguay, Maulana mengaku tak berfikir macam-macam. Sampai akhirnya, ia diharuskan pulang lantaran ada penyakit dalam yang dideritanya.
Maulana mengaku sedih. Kontrak selama dua tahun, empat bulan terpaksa kembali ke tanah air. Sedih bercampur bahagia, lantaran menjadi nelayan di negeri orang, tak seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Praktis, 23 jam Maulana bekerja setiap hari untuk mencari ikan. Istirahat yang kurang, Maulana mengaku ia coba hilangkan dengan keasyikannya mencari ikan di laut di negara orang.
Kagalauan hatinya, tak bisa ia tutupi, empat bulan berjalan, Maulana mengaku sudah harus kembali ke Jakarta lantaran kondisi kesehatannya yang tak mengharuskan ia berlama-lama di Uruguay.
Lelaki yang hanya lulusan sekolah dasar ini kemudian bertanya-tanya di dalam hati, mengapa ia bisa sampai ke Uruguay kalau memang kesehatannya tak mengharuskannya berangkat ke negara di benua Amerika Latin tersebut.
Pertanyaan di dalam hatinya ia hilangkan, begitu dapat memastikan bisa pulang ke Indonesia. Senang, bercampur sedih, Maulana bertutur dengan tatapan sedih.
"Senang karena bisa pulang, tak lagi merasa sendiri di sana (Uruguay). Sedih, karena hanya uang RP 1000 di kantong dan satu bungkus rokok (merek lokal Uruguay) yang bisa dibawa. Baju saya hanya bawa yang bersih-bersih saja," tuturnya.
Baju yang awalnya ia bawa hampir memadatkan tas ranselnya, terpaksa ia tinggalkan di Uruguay. Sambil memastikan, Maulana kemudian membuka dompetnya, menunjukkan uang Rp 1000 yang tertinggal disakunya.
"Mudah-mudahan tak ada yang bekerja menjadi nelayan seperti saya. Hanya cape yang didapat, tapi tak mendapatkan apa-apa," akunya sedih.
Iming-iming Rp 1.700.000 per bulan, hanya impian, bagi Maulana. "Saat saya tanya, uang gaji untuk empat bulan, bos saya hanya bilang, sudah syukur kamu bisa dipulangkan ke Indonesia, dengan tiket gratis," ungkap Maulana seraya menirukan perkataan bosnya.
Berangkat dari Uruguay dengan perut yang sudah terisi. Dengan modal bahasa Indonesia, tanpa bisa bahasa lain, Maulana nekat, mengakhiri kisah pilunya di negara lain.
Sebelum bisa sampai Bandara Internasional Belanda, Schippol,
Maulana mengaku transit terlebih dahulu di Sao Paulo Brasil.
"Praktis, saya hanya makan apa yang diberikan di dalam pesawat. Mau minta ini, malah dikasih makanan lain. Mau minum jus, malah dikasih air putih," katanya terkekeh seraya mengaku kerap bingung saat diajak ngobrol dengan orang lain.
Selama di bandara atau dalam pesawat, Maulana mengaku lebih banyak diam lantaran tak menguasai bahasa Inggris.
Saat mencari tahu dari pintu masuk mana untuk bisa naik pesawat ke Belanda, ia harus berkali-kali bertanya kepada orang yang ia temui. Modal nekat, Maulana sampai juga di Bandara Schipol, Amsterdam.
"Pakai bahasa tubuh saja mas, sambil pakai isarat," ujarnya terkekeh.
Bau badan Maulana yang sudah tak sedap, ia tak pedulikan. Yang ia fikirkan adalah bagaimana caranya bisa sampai ke tanah air.
Maulana tak lagi galau. Ia bisa leluasa bila ingin ke kamar kecil selama transit di Belanda. Sambil menunjukkan surat kontak kerja yang sudah lusuh, Maulana mencoba menghibur dirinya sendiri.
"Meski saya orang susah, dan hanya seribu rupiah di dalam dompet, paling ngga saya sudah sampai ke negeri orang. Mantan tukang ketoprak bisa sampai ke Uruguay, Brasil, dan Belanda," ujarnya sumringah, menghibur dirinya yang masih dibalut kesedihan. Mimpi mendapat penghasilan di negeri orang ternyata sia-sia belaka. (*)